Oleh
Gita Nur Patria dan Helmi Arman*
Orang tua dan guru harus pro-aktif
menjaga agar anak tidak menonton
film-film yang belum sesuai untuk usianya.
Beberapa
waktu lalu, saya sempat dikejutkan oleh teguran dari guru anak saya. Ia
mengeluhkan ‘ketertinggalan’ anak saya dibandingkan anak-anak lain dalam hal
tontonannya di rumah.
Saya
memang selalu menjaga agar si kecil selalu menonton sesuatu yang diperuntukkan
untuk anak seusianya. Pada saat berumur 5 tahun, ia masih sangat menyukai
kartun Thomas and Friends. Jadi saya
cukup terkejut ketika guru kelasnya menyarankan agar ia disuguhi film-film semi
dewasa seperti Transformers, Spiderman the Movie, dan lain-lain. Alasannya agar
si anak lebih mengerti apa yang dibicarakan oleh teman-temannya dan tidak
merasa disisihkan dalam pergaulan.
Saran
dari gurunya tersebut lantas menimbulkan pertanyaan dalam pikiran saya. Apakah
sesuatu yang salah bisa dibenarkan hanya karena semua orang melakukannya?
Dimana tanggung jawab kita sebagai orang tua dan guru dalam menjaga anak dari
pikiran-pikiran serta keinginan negatif yang pasti akan timbul akibat menonton
hal-hal yang belum sepatutnya?
Perlu
diketahui bahwa hampir semua film dari barat itu diberi peringkat oleh lembaga
yang disebut MPAA (Motion Picture
Association of America). Film-film seperti Iron man, Transformers,
Spiderman itu diberikan peringkat PG-13. Artinya film tersebut bisa mengandung
elemen-elemen kekerasan, adegan-adegan dewasa dan bugil, serta kata-kata kasar
yang tidak pantas dipertontonkan kepada anak di bawah usia 13 tahun.
Banyak
orang tua Indonesia tidak memperhatikan atau tidak peduli akan arti pentingnya
pemeringkatan ini. Bahkan tak jarang di bioskop kita melihat anak-anak kecil
diajak orang tuanya menonton film yang jelas-jelas berperingkat R (Restricted),
yang selain mengandung kekerasan tingkat tinggi, juga memperlihatkan
adegan-adegan telanjang berorientasi seksual, bahkan juga penyalahgunaan
narkotika!
Saya
pernah berbicara dengan anak berumur 5 tahun yang mengatakan bahwa ia sudah memiliki
“pacar” yang “seksi banget”. Ketika
saya tanyakan arti dari kedua istilah tersebut, anak itu dengan percaya diri
menjelaskan bahwa pacar itu untuk di-“cium-cium” dan seksi itu adalah buah dada
yang besar. Ini bukanlah hal yang lucu, melainkan suatu gejala yang mengerikan!
Banyak
anak di negeri ini menonton film berjam-jam dalam sehari tanpa didampingi oleh
orang tua mereka. Padahal pengaruh TV dan film terhadap perkembangan anak
sangat besar, apalagi pada anak berusia dini yang kemampuan kognitifnya masih
terbatas. Seorang anak kecil akan mempercayai apa yang ia lihat di TV sebagai
suatu hal yang nyata: Apa yang di-iklankan harus dibeli, dan nilai-nilai serta
perilaku yang dipertontonkan boleh ditiru… termasuk kekerasan dan seks.
Penelitian
menunjukkan bahwa anak kecil yang terlalu banyak disuguhi film action bisa tumbuh menjadi anak agresif
yang merasa bahwa kekerasan adalah satu-satunya jalan keluar dari masalah.
Sementara itu anak-anak yang sudah disuguhi film dewasa ketika masih kecil
cenderung akan lebih dini melakukan kegiatan seksual dibandingkan dengan anak
yang hanya menonton kartun.
Oleh
karena itu kebijakan orang tua dalam mengawasi dan memilih tontonan anak
merupakan salah satu faktor nyata yang akan membentuk karakter serta perilaku
si anak. Apakah belum cukup banyak berita di negeri ini mengenai anak kecil
yang sudah berani mengambil nyawa manusia lain? Atau berita akan banyaknya remaja
yang harus putus sekolah karena hamil atau menghamili anak lain?
Kita
sebagai orang tua memiliki tanggung jawab besar agar anak didik kita tidak
berperilaku dewasa sebelum waktunya. Orang tua harus pro-aktif mengawasi dan
mengatur kadar konsumsi media TV anaknya. Ini tidak boleh diserahkan pada
pembantu saja!
Pertama,
perhatikan rating film yang ditonton si anak: apakah G, PG, PG-13 atau R? Film
berjudul tokoh komik bukan berarti boleh ditonton semua anak. Kedua, jangan
menghadiahi TV atau komputer di dalam kamar anak. Porsi waktu ideal menonton TV
atau film itu hanya 1-2 jam per-hari; aturan ini lebih mudah diterapkan bila TV
berada di luar kamar. Ketiga, orang tua hendaknya membuka
komunikasi dan diskusi dengan anak mengenai film apa yang boleh ditonton. Si
anak perlu tahu mengapa mereka dilarang menonton film atau acara TV tertentu. Bantulah
ia memahami bahwa pada acara tersebut terdapat materi-materi yang tidak sesuai
dengan usianya.
Sebelum
anak saya meminta-minta diberikan tontonan dewasa karena teman-temannya, saya
berusaha meyakinkan gurunya bahwa hal terbaik yang patut ia lakukan adalah membangkitkan
rasa percaya diri pada murid-muridnya:
Bahwa setiap anak berumur 5 tahun yang masih menyukai Thomas and Friends tidak perlu merasa
kecil hati menghadapi teman-temannya yang mungkin sudah ahli menonton film-film
kekerasan dan adegan sensual.
Saya
juga menyarankan Ibu guru agar bisa mengalihkan perhatian anak-anak kepada
kegiatan-kegiatan positif yang melibatkan mereka bermain bersama, sehingga si
anak penyuka Thomas tidak merasa
disisihkan. Alhamdulillah, setelah cukup lama berdiskusi akhirnya kami pun
sepakat akan membantu anak saya “diterima” oleh teman-temannya di sekolah tanpa
harus melanggar aturan dari orang tuanya. Mudah-mudahan tetap demikian ke
depannya.
*Penulis merupakan pasangan orang tua yang prihatin